BIROKRASI HARUS BERANI KELUAR DARI PEMIKIRAN KONVENSIONAL.



Wawancara dengan Danang Girindrawardana Ketua Ombudsman

Apa lingkup pengawasan Ombudsman?
Ombudsman Republik Indonesia dilahirkan oleh negara sebagai Lembaga Negara Pengawas Pelayanan Publik, memonitor kebijakan2 dan implementasi kebijakan itu dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Termasuk yg dilakukan oleh BUMN.

Apakah termasuk mengawasi BUMN Pelindo?
Ya, tentu saja. Sudah lebih lima tahun saya mempelajari, mengawasi dan memeriksa semua pelayanan publik sektor investasi termasuk yang dilakukan BUMN Angkasa Pura. Juga terhadap layanan publik di pelabuhan dimana terdapat Pelindo sebagai BUMN operator. Kasus dweelling time itu, kami Ombudsman yang serius mendalami. 


Kewajiban saya sebagai Ketua Ombudsman adalah tidak sekedar bongkar bongkar masalah rumit yg belasan tahun tidak mampu terselesaikan, tetapi kami juga memiliki tanggung jawab untuk menyajikan solusi, maka kami mengeluarkan rekomendasi perbaikan. Prinsipnya adalah bagaimana menyederhanakan kerumitan2 dalam sektor layanan publik dan bagaimana memperbaiki kondisi permasalahan itulah yang membuat Ombudsman memiliki ciri khas dibandingkan dengan lembaga negara lainnya.

Bagaimana Anda menilai kondisi pelabuhan di Indonesia?
Sudah jauh lebih baik, Tanjung Priok, Tanjung Perak dan Tanjung.Emas bisa dibilang sangat cepat berbenah. Teluk Lamong juga bisa menjadi pelabuhan modern yang kompetitif. Juga saya perhatikan performansi pelabuhan Belawan di Medan dan Pelabuhan Soekarno Hatta di Makassar, juga pelabuhan di kawasan FTZZ Kepri Batam. Pada umumnya, pelabuhan kita sudah menjadi lebih baik meskipun belum yang terbaik. Masih menempati nomor empat performansi kinerja pelabuhan dan logistic cost Indonesia di antara negara-negara ASEAN.

Bagaimana Anda melihat masalah hukum yang sedang membelit Dirut Pelindo II ?
Tentu saya memahami fenomena hukum yg sedang membelit Pelindo II, dan sesuai UU, Ombudsman tidak berwenang mencampuri kewenangan substantif lembaga peradilan. Secara pribadi saya juga kenal pak Lino dan saya mengukur kinerjanya yang saya nilai baik. Namun saya bukan pembela pak Lino. Tapi, saya merasa gusar dengan situasi nasional ini. 

Saya teringat kasus Hotasi Nababan, Dirut Merpati, tentang pengadaan pesawat dan juga kasus IM2 tentang penyelenggaraan internet broadband. Pendekatan penegakan hukum dalam sektor investasi ini agak mirip mirip. Bagi saya, hal ini menimbulkan pemikiran yang mendalam, karena substansi esensi kemanfaatan publik menjadi tidak lebih penting daripada kerugian negara. Publik sebenarnya diuntungkan, meskipun mungkin ada atau potensi kerugian negara.
Maka, saya kira, proses pembuktian atau cara menghitung kerugian negara ada baiknya dipikirkan kembali. Perlu ada penyejajaran komprehensif antara apa yg disebut kerugian riil dan kerugian potensial dengan benefit riil dan benefit potensial yang bisa langsung dirasakan oleh masyarakat. 

Karena ujung dari penggunaan uang negara adalah benefit bagi publik. Kita harus mulai menyusun langkah langkah strategik, bagaimana cara mengimplementasikan filosofi ini ke dalam pengaturan praktis sehingga birokrat penyelenggara pelayanan publik dengan aparat penegak hukum memiliki sudut pandang yang sama. Karena, sampai saat ini reformasi birokrasi dan reformasi hukum kita belum ditantang untuk berpikir sampai ke tahapan itu.

Apa langkah strategik terkait reformasi birokrasi dan refornasi penegakan hukum yang Anda pertimbangkan?
Kepentingan strategik Indonesia saat ini adalah kebutuhan akselerasi kecepatan pembangunan yg berkualitas dan iklim investasi yg sejuk. Kalau dua hal ini bisa direalisasikan, dampak langsungnya adalah masyarakat makin sejahtera. Maka selain masalah-masalah debirokratisasi dan deregulasi proses prosedur perizinan dengan paket paket kebijakan ekonomi yang telah diluncurkan oleh Presiden Jokowi, birokrasi kita harus ditantang untuk berani keluar dari pemikiran konvensional mengikuti tuntutan visioner Kepala Negara. 

Birokrasi tidak boleh kita biarkan terkungkung seperti katak dalam tempurung, simbol kemalasan untuk berubah dan belajar. Cara pandang birokrasi pemerintah dan aparat penegak hukum harus sejalan, sehingga bisa sinergis membangun Indonesia lebih cepat, berkualitas dan berkepastian hukum.
Hal ini adalah bagian penting dari filosofi Reformasi Birokrasi. Meskipun jangkauan pemikiran dan kecepatan perubahan skill birokrasi tidak sejauh dan secepat pejabat politik, tetapi tidak ada alasan untuk terus menerus menikmati comfort zone.

Apakah hal itu berarti mengamini adanya kongkalikong antara aparat penegak hukum dan birokrat penyelenggara pelayanan publik?
Bukan itu konteks berpikirnya, masing-masing tetap harus mengerjakan tupoksinya yang berbeda beda. Tetapi, bila pemahaman atas ukuran2 kinerja atau ukuran tindak korupsi sudah sama, akan lebih mudah mencegah birokrasi kita terjebak pada tindakan korupsi. 

Saat ini kan masih terdapat perbedaan pandangan yang sangat parah, antara mana yg disebut kesalahan kebijakan, diskresi, corporate action, administrasi memperkaya diri sendiri atau orang lain, dan tindak pidana korupsi. Kalau perbedaan pemahaman itu tidak pernah disamakan, maka semua semua bisa dengan mudah disangkakan korupsi. Kalau situasinya masih seperti ini, jangan harap birokrasi pemerintah mampu mengeksekusi kebijakan pembangunan dengan cepat. Mereka bekerja dengan ketakutan.

Apa solusinya?
Kita harus mampu mendorong reformasi birokrasi paralel dengan reformasi penegakan hukum. Semua komponen negara harus melakukan terobosan pemikiran baru tentang kepentingan penegakan hukum, yang berjalan seiring dengan kepentingan capaian target nasional dan kepentingan publik. Tiga kepentingan itu adalah sejajar. Kepentingan capaian target nasional, kepentingan publik dan kepentingan penegakan hukum tidak boleh saling mengalahkan. Harus saling sinergis.

Contoh praktisnya ada?
Saya berpendapat, pertama, bahwa demi kepentingan negara dan publik, penegakan hukum perlu dilakukan secara arif dan hati hati. Bahwa penegakan hukum seharusnya bisa dilakukan tanpa harus menghambat sektor pelayanan publik. Misalnya, sebagai contoh saja, dalam kasus Pelindo, kalau sampai alat2 berat, misalnya crane yg sangat vital itu harus diberi police line sehingga tidak bisa beroperasi, maka ini jelas mengganggu pelayanan publik. 

Uang yg sudah dikeluarkan untuk beli alat itu semakin tidak bernilai hanya karena seseorang sedang disangkakan korupsi atas alat itu. Investor panik, citra baik negara rusak, perbankan dan konsumen kabur. Laju layanan dan kualitas layanan terhambat. Artinya salah satu dari tiga kepentingan nasional itu mendominasi dua kepentingan yg lain. Model berpikir sinergis tiga sudut kepentingan ini harus menjadi semangat reformasi birokrasi dan reformasi hukum.

Apa yang berikutnya?
Yang kedua, harus ada shifting skill dan knowledge di lingkungan PNS pengawas dan aparat penegak hukum ke penguasaan manajemen economic development modern. Baik makro ditingkat kawasan maupun mikro ditingkat korporasi. Kita harus challenge birokrasi kita sampai ke level keahlian itu.

contohnya apa?
Misalnya di lingkup BUMN sebagai entitas penyelenggara pelayanan publik dengan karakter yang berbeda dengan institusi pemerintah lainnya misal Pemda atau Kementerian. Dua entitas ini mustinya memiliki pola pola manajemen yg berbeda. BUMN musti dipandang sebagai korporasi, sebagai perusahaan yang menjalankan misi negara dalam hal public obligation. Sehingga karakter peraturanperaturan yang melekat pada BUMN mustinya juga dibedakan dengan isntitusi pemerintah pada umumnya. 

Di dalam BUMN dikenal dengan corporate action, sebuah aksi perusahaan, yang membutuhkan pertimbangan2 profesional yg beda dalam pengambilan keputusan di entitas Kementerian atau Pemda.
Maka, kacamata para penegak hukum, khususnya ketika menyidik terjadinya dugaan korupsi di lingkup BUMN harus memiliki pengetahuan yang sama sebagaimana karakter corporate action. Tidak bisa disamakan dengan penyidikan salam lingkup institusi semacam Pemda. Para penegak hukum dan lembaga peradilan perlu shifting pengetahuan dan belajar banyak mengenai manajemen korporasi sehingga justifikasi terhadap dugaan pelanggaran pidana itu juga semakin modern sesuai dengan kemajuan ilmu ilmu manajemen korporasi modern.
Saya khawatir, dengan regulasi2 yang ada saat ini, bisa agak bias justifikasinya jika menerapkan penilaian dugaan pidana korupsi dengan hanya membandingkan peraturan dengan aktual. Juga karena peraturan2 tidak selalu bisa berubah cepat sejalan dengan perkembangan tuntutan korporasi yang sangat dinamis penuh dengan kompetisi.(P2)

Penulis: MI/Eko Rahmawanto
MEDIAINDONESIA.COM
Share this article :
 
Support : Creating Website | Mantika Template | Fans Page
Copyright © 2011. PT Rush Cargo Nusantara - All Rights Reserved
Template Created by BDSL Group Published by BDSLcom Template
Proudly powered by Blogger