PESAWAT NIRAWAK PERLU ATURAN



Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA), kemarin, menyatakan bahwa drone alias pesawat nirawak yang dioperasikan oleh masyarakat sipil sudah menjadi ancaman nyata bagi keamanan penerbangan komersial. Hal tersebut diungkapkan IATA seiring dengan penggunaan drone yang kini meluas. 

Dulu, pesawat nirawak itu hanya digunakan untuk kepentingan militer. Namun, sekarang masyarakat sipil dapat menggunakan drone dengan bebas, baik untuk tujuan komersial maupun kegiatan rekreasi. Kenyataan itu membuat para pengamat dan pejabat asosiasi penerbangan khawatir perangkat terbang dengan kendali radio tersebut, jika tidak diatur, bisa bertabrakan dengan pesawat komersial dan mengakibatkan konsekuensi mengerikan.

"Regulasi yang mengatur kepemilikan dan pengoperasian drone serta hal-hal lainnya yang berkaitan harus dibuat. Ini harus dilakukan sebelum insiden benar-benar terjadi," tegas Direktur Jenderal IATA Tony Tyler dalam konferensi penerbangan di Singapura, Senin (15/2). 

Drone memang memiliki banyak potensi untuk membantu berkegiatan manusia. Namun, di sisi lain, setiap kali terbang, drone bisa berbahaya bagi penerbangan lainnya. "Saya pun gembira mengetahui drone bisa digunakan untuk mengantar piza, misalnya, tapi kita tidak bisa membiarkan mereka mengancam keselamatan," ucap Tyler.

Pendekatan yang sesuai, lanjut Tyler, harus dilakukan. "Kita harus menemukan metode pragmatis untuk menindak mereka yang mengabaikan aturan dan membahayakan nyawa orang lain," imbuhnya. 

Para pengatur penerbangan juga ingin memastikan spektrum radio yang digunakan untuk mengendalikan drone tidak mengganggu sistem kontrol lalu lintas udara. Beberapa laporan terkait dengan drone juga telah banyak disampaikan para pilot pesawat komersial.

"Mereka kerap melihat pesawat nirawak terbang di tempat-tempat yang tidak semestinya, khususnya pada ketinggian rendah di dekat lapangan terbang. Ini benar-benar sangat berbahaya. Mereka yang berada di wilayah terbang menjadi perhatian utama kami," jelas Tyler.

Menurut data Pusat Studi Drone yang berbasis di New York, Amerika Serikat (AS), antara Desember 2013 dan September 2015 terdapat 921 laporan terkait pertemuan drone dan pesawat berawak di wilayah udara AS. Laporan itu menyebut sebanyak 36% di antaranya menunjukkan kedua pesawat dalam posisi sangat berdekatan. Adapun sekitar 90% temuan berada pada ketinggian sekitar 120 meter yang merupakan ketinggian maksimum bagi pesawat nirawak.

Dalam 28 insiden, laporan itu menunjukkan pilot pesawat komersial harus melakukan manuver untuk menghindari tabrakan.

Rob Eagles, pengamat drone di IATA, menyatakan perusahaan produsen tidak memiliki data jumlah drone yang beroperasi di seluruh dunia.
Namun, dari informasi yang didasarkan pada pengamatan, dapat dikatakan pesawat nirawak itu kini telah menjamur dan tersebar hampir di seluruh penjuru dunia.

"Saat Administrasi Penerbangan Federal Amerika Serikat mengeluarkan perintah wajib registrasi drone dengan bobot maksimal 25 kilogram, tercatat ada 300 ribu yang terdaftar hanya dalam Desember 2015," ungkap Eagles. Dia memperkirakan jumlahnya bakal terus bertambah dengan berbagai ukuran di seluruh dunia.

Dari 191 negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO), sejauh ini ada 63 yang telah menerapkan aturan registrasi drone, 9 masih memproses regulasi, dan 5 telah melarang penggunaan drone. "Ini tidak berarti ada konsistensi dalam regulasi, tetapi menjadi urgensi karena industri ini berkembang dengan amat pesat," kata Eagles. (AFP/I-1)

Sumber : MI
Share this article :
 
Support : Creating Website | Mantika Template | Fans Page
Copyright © 2011. PT Rush Cargo Nusantara - All Rights Reserved
Template Created by BDSL Group Published by BDSLcom Template
Proudly powered by Blogger